TEMPAT KERAMAT SUKU
BADUY
Suku Baduy adalah kelompok kehidupan yang
begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang mereka anut. Nama masyarakat
Baduy sebenarnya adalahURANG KENEKES. Mereka adalah
suku bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di Pegunungan Kendeng Kabupaten
Lebak (Jawa Barat). Nama Baduy sendiri diambil dari nama sungai yang melewati
wilayah itu yaitu Sungai Cibaduy.
Mereka adalah keturunan Raja Pajajaran yang
menolak agama baru yang masuk dibawa oleh Sunan Gunung Jati di abad 15 dan 16
yaitu agama Islam. Untuk menghindari perang, para punggawa dan senopati
Pajajaran yang menolak Sunan Gunung Jati masuk hutan. Mereka memilih daerah
perbukitan di kaki gunung Sanggabuana, 1000 mdpl di Banten Selatan. Mereka
menolak masuk Islam dan menolak jadi pengikut Sunan Gunung Jati. Di sana mereka
terus mengembangkan agama lama mereka di dalam belantara yang sulit diterobos.
Orang Baduy pertama-tama memuja lelembut, yaitu roh halus, roh gaib yang
dianggap sebagai nenek moyang pemberi hidup dan mati. Roh itu adalah yang
menjiwai segala-galanya. Sebagai pemegang kekuasaan tunggal yang disebut Batara Tunggal. Tempat kediaman lelembut adalah di dekat mata air sungai Ciujung dan Sungai Cisemet. Tempat keramat tersebut dipuja-puja dan
dinamakan Arca Domas. Tempat pemujaan ini hingga sekarang sangat
terlarang bagi orang luar.
Masyarakat Kanekes mempunyai objek pemujaan
penting yang lokasinya dirahasiakan dan hanya ketua adat tertinggi beserta
rombongan terpilihnya yang bisa pergi kesana setiap setahun sekali di bulan
kelima. Nama objek pemujaan tersebut adalah Arca Domas. Arca ini memiliki batu lumping yang menjadi petunjuk apakah panen
mereka akan berhasil atau gagal.
Orang Baduy hidupnya sangat terisolasi dan jauh
dari pergaulan umum. Hanya pada waktu-waktu mendesak dan sangat terpaksa
barulah mereka keluar wilayah. Itupun dilakukan dengan sangat segan. Para
wanita dan anak-anak tidak diperkenankan oleh adat untuk ke luar daerah Baduy.
Pemimpin pemerintahan dan keagamaan disebut Girang Pu’un yang sangat ditakuti.
Selain disegani karenaSuku Baduy dibagi dua kelompok, yaitu Urang Kejeroan dan
Urang Panamping. Urang Kejeroan adalah Baduy Dalam, mereka yang menempati tanah
keramat di daerah Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Sedangkan Urang Panamping
adalah Baduy yang menempati di luar tanah keramat yaitu di daerah Ciboleger dan
Kaduketer, dan mereka dianggap Baduy yang derajatnya lebih rendah yang
disebabkan melanggar aturan-aturan adat.
Peraturan menetapkan, bahwa di tanah keramat itu selalu harus berdiam 40 kepala keluarga. Jika lebih, kelebihannya itu disuruh ke luar, yaitu menjadi warga Baduy Luar. kewibawaan dan kharismanya, tapi juga dihormati karena dianggap sebagai orang sakti madraguna. Girang Pu’un bisa mengobati segala macam penyakit dan mampu menyelesaikan persoalan seberat apapun. Komandonya adalah garis tegas yang tak boleh terbelokkan oleh siapapun. Tapi dia adalah pemimpin yang adil, bijak dan bestari.
Peraturan menetapkan, bahwa di tanah keramat itu selalu harus berdiam 40 kepala keluarga. Jika lebih, kelebihannya itu disuruh ke luar, yaitu menjadi warga Baduy Luar. kewibawaan dan kharismanya, tapi juga dihormati karena dianggap sebagai orang sakti madraguna. Girang Pu’un bisa mengobati segala macam penyakit dan mampu menyelesaikan persoalan seberat apapun. Komandonya adalah garis tegas yang tak boleh terbelokkan oleh siapapun. Tapi dia adalah pemimpin yang adil, bijak dan bestari.
PENGARUH LUAR TERHADAP
SUKU BADUY
Keunikan suku Baduy yang masih tetap bertahan
sampai sekarang adalah ketiadaannya teknologi dan modernisasi dalam hal sekecil
apapun. Para penduduknya tidak mengenal pendidikan, benda telekomunikasi,
listrik, bahkan alas kaki. Meskipun begitu, para penduduknya tergolong pintar
dalam bertahan hidup dan berkreasi dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Meskipun anti teknologi, namun ikatan
masyarakat Baduy terhadap penduduk luar sangatlah erat dan tetap bersifat
kekeluargaan, tidak ada isolasi yang membuat mereka terasing. Hal ini juga yang
membuat rutinnya kegiatan Seba di masyarakat Baduy, yaitu kegiatan yang
diadakan setahun sekali untuk mengantarkan hasil bumi kepada Gubernur Banten.
Orang Baduy juga biasa berkelana ke kota besar di sekitar mereka untuk
berjualan dan hanya ditempuh dengan jalan kaki hingga berkilo-kilo meter. Dulu
para orang Baduy hanya menggunakan sistem barter dalam memenuhi kebutuhan
mereka, namun sekarang beberapa penduduknya telah menggunakan uang rupiah untuk
berjualan.
Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya
terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng - Banten
Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km
sebelah selatan ibukota Provinsi Banten.Masyarakat Baduy yang menempati areal
5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia
luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya,
dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas)
dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin
harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
KEGIATAN SEHARI-HARI
SUKU BADUY
Warga
suku Baduy tidak diperbolehkan menebang pohon secara sembarangan, terutama
pohon yang berada pada area hutan lindung karena diperlukan untuk menjaga
keseimbangan dan kejernihan sumber air. Pepohonan di areal ini tidak boleh
ditebang untuk dijadikan apa pun, termasuk diubah peruntukannya menjadi ladang
atau kebon sayur/buah. Pernyataan jangan merusak hutan sudah sangat dipahami
oleh segenap warga Baduy seperti pernah diungkapkan kokolot Baduy, Jaro Dainah:
“Gunung ulah dilebur, Lebak ulah dirusak !” Seperti kita ketahui hutan tropis
Indonesia banyak yang rusak dan berkurang karena keserakahan kegiatan
penjarahan hutan secara liar (illegal logging) dan pembukaan lahan baru
misalnya untuk perkebunan sawit dengan cara pintas membakar hutan yang
mengakibatkan polusi udara sehingga Indonesia menempati urutan tiga besar penyumbang
emisi di dunia dari segi kebakaran dan perusakan habitat hutannya.
Berladang/ bercocok tanam/ bertani merupakan
pekerjaan utama suku Baduy. Tidak diperbolehkan penggunaan bahan-bahan kimia
seperti pestisida terutama bagi orang Baduy Dalam yang hanya mengunakan pola
tradisional organik dengan dibantu doa serta mantra-mantra. Dengan demikian
pola tanam organik bebas kimia seperti ini, kenyataannya terbukti lebih
bermanfaat dan menyehatkan dan malah sekarang mulai banyak ditiru oleh ‘orang
kota’ yang peduli untuk menjaga kesehatannya.
PIKUKUH SUKU BADUY
Objek yang akan dianalisis dari tulisan ini
adalah mengenai “pikukuh” yang
berkembang di masyarakat Baduy.“Pikukuh” adalah
sebuah tata cara kehidupan masyarakat Baduy dengan konsep tanpa perubahan.
Artinya mereka memegang teguh kealamiahan untuk menjaga keseimbangan hidup
antara alam dan manusia. Kendati hukum-hukum itu tidak dimunculkan secara
tertulis, akan tetapi “pikukuh” tersebut tetap menjadi pedoman bagi masyarakat
Baduy. Untuk menjaga “pikukuh” tersebut,
maka dilaksanakan aturan untuk mempertahankannya yang disebut “buyut.” (dalam bahasa Indonesia berarti tabu
atau larangan).
Delapan klasifikasi “pepatah” yang ada di Baduy
dan menjadi buyut yang tak boleh dilanggar. Kedelapan klasifikasi “pepatah” itu
adalah taat pada hukum, penegakan hukum, pemeliharaan terhadap alam, pepatah
untuk pemimpin, tolong-menolong, hidup/ bekerja, kebersamaan, pepatah
pertanggungjawaban. Konsep lisan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat
Baduy mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan struktur dari “pepatah”
tersebut. Kemudian, Kurnia, di dalam mengklasifikasi “pepatah” masih bisa
diperdebatkan karena beberapa klasifikasi itu bisa juga bertalian dengan
klasifikasi yang lain.
Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan.
Berikut isi dari buyut tersebut yang berisi empat konsep larangan.
·
gunung teu meunang dilebur (gunung
tidak boleh dihancurkan)
·
lebak teu meunang diruksak, (lembah tidak boleh dirusak)
·
lojor teu meunang dipotong (panjang
tidak boleh dipotong)
·
pendek teu meunang disambung (pendek tidak boleh disambung)
Kedekatan Baduy dengan alam seperti gunung dan
lebak (lembah) menjadikan komunitas mereka harus menjaga dua wilayah tersebut
kendati terdengar kontras. Gunung dan lembah tidak boleh dihancurkan karena
jika itu terjadi maka musnahlah segara kehidupan mereka. Dari letak geografis,
Baduy berada di dua wilayah itu. Dengan demikian mereka harus memeliharanya
sebagai bagian dari keseimbangan kehidupan. Konsep oposisi biner, secara
intertekstual mengindikasikan perbedaan, namun di dalam konsep hidup justru
memperlihatkan keseimbangan karena konsep kosmos ini terbentuk dan dibentuk
dari proses keseimbangan. Di dalam konsep Cina kita mengenal yin dan yang. Secara alamiah, kita juga menemukan
konsep perbedaan untuk menjaga keseimbangan itu di dalam tatanan realitas
seperti laki-laki dan perempuan, hitam dan putih, kaya dan miskin, begitu
seterusnya. Konsep pikukuh Baduy menegaskan bahwa di dalam perbedaan itu tetap
harus dijaga, dipelihara dan tidak dirusak/ diubah.
lojor
teu meunang dipotong, pendek teu meunang disambung. (panjang tidak
boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Masyarakat Baduy sangat percaya
bahwa segala sesuatu di alam ini telah diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Oleh
karenanya, sebagai manusia yang juga diciptakan, manusia tidak memiliki
kepatutan untuk merusak seperti memotong atau menyambung. Konsep hidup yang
diserahkan pada gagasan natural ini jelas memperkuat masyarakat Baduy secara
umum bahwa mereka dilahirkan untuk menjaga stabilitas alam agar tetap seimbang.
Kesederhanaan hidup ini adalah cara mereka
untuk “bersatu” dengan alam. Pikukuh yang
menjadi pegangan hidup mereka dianggap sebagai harga mati dan tak boleh diubah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar